Selasa, 16 Oktober 2012

proses turunya al-quran

Diposting oleh Unknown di 09.01
Jumhur ulama berpendapat –sebagaimana diutarakan oleh As Suyuthi dalam Al Itqon- bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam dua tahap. Pertama, diturunkan oleh Allah secara sekaligus pada Lailatul Qodar ke langit dunia. Kemudian, dari langit dunia dibawa oleh Jibril as. kepada Rasulullah saw. secara bertahap selama 23 tahun. Sementara itu, sebagian ulama -antara lain adalah Asy Sya’bi- berpendapat bahwa Al-Qur’an hanya diturunkan dengan satu cara, yakni secara bertahap sepanjang masa kenabian.
Jumhur ulama mendasarkan pendapatnya antara lain pada beberapa dalil berikut:
Al Qur’an Surat Al-Baqoroh ayat 185
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
Al Qur’an Surat Ad Dukhon ayat 3
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ
sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.

Al Qur’an Surat Al Qodr ayat 1
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan.
Sisi pendalilannya adalah, bahwa dalam Al-Baqoroh 185 dikatakan bahwa Al-Qur’an itu turun pada Bulan Ramadhan, bukan pada bulan-bulan lain. Sedangkan dalam Ad Dukhon ayat 3 dan Al Qodr ayat 1 dikatakan bahwa Al-Qur’an itu turun hanya dalam satu malam, yaitu yang disebut lailatun mubaarokatun (malam yang diberkahi) atau Lailatul Qodr. Kedua lafadz itu berbentuk mufrad (tunggal), yang berarti satu malam, bukan dua malam atau beberapa malam. Jadi, Al-Qur’an itu turun sekaligus dalam satu malam. Itulah dalil mereka. Namun, mereka juga paham, bahwa Al-Qur’an diterima oleh Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam secara bertahab, selama sekitar 23 tahun. Maka, mereka menyatakan bahwa Al Qur’an turun sekaligus dari Lauhul Mahfudz ke langit dunia, kemudian turun secara bertahab dari langit dunia kepada Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam.
Selain itu, para ulama tersebut juga berdalil dengan beberapa riwayat yang disandarkan kepada Ibnu Abbas ra. Imam As Suyuthi dalam Itqon-nya telah mengetengahkan riwayat-riwayat tersebut, beliau berkata:
Al Hakim, Al Baihaqi dan yang lainnya telah mengeluarkan riwayat dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas ra. Yang berkata, “Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia secara sekaligus pada Malam Qodar, di tempat singgahnya bintang-bintang (mawaqi’ an nujum), lalu Allah menurunkannya kepada Rasulullah saw. bagian demi bagian.”
Al-Hakim, Al-Baihaqi dan An Nasai telah mengeluarkan hadits dari jalan Dawud binAli Al Hindi dari Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, “Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus ke langit dunia pada malam Qodar, kemudian setelah itu diturunkan dalam 23 tahun. Lalu beliau membaca وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيراً (QS Al Furqoon ayat 33) dan kemudian membaca وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلاً (QS Al Isroo’ ayat 106). Ibnu Abi Hatim juga mengeluarkan riwayat dengan bentuk yang sama dengan tambahan di akhirnya, “dengan demikian apabila orang-orang musyrik membicarakan sesuatu, maka Allah langsung membuat jawaban untuk mereka”.
Al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibah telah mengeluarkan sebuah riwayat dari jalan Hisan bin Harits dan Said bin Jubair dari Ibnu Abbas dia berkata, “Al-Qur’an dipisahkan dari Adz Dzikr kemudian diletakkan di Baitul Izzah di langit dunia, maka kemudian Jibril as. membawanya turun kepada Nabi saw”. Semua sanadnya shohih.
Ath Thobroni meriwayatkan atsar dengan bentuk lain dari Ibnu Abbas dia berkata, “Al-Qur’an diturunkan pada Malam Qodar pada Bulan Ramadhan secara sekaligus kemudian diturunkan secara bertahap”. Status sanadnya “laa ba’sa bihi”.
Ath Thobroni dan Al Bazzar juga mengeluarkan dengan bentuk lain dari beliau (Ibnu Abbas) berkata, “Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus hingga diletakkan di Baitul Izzah di langit dunia, kemduian Jibril as. menurunkannya kepada Muhammad saw. untuk menjawab perkataan manusia dan perbuatan-perbuatan mereka”.
Ibnu Abi Syaibah dalam Fadhoilul Qur’an mengeluarkan, “Al-Qur’an diserahkan kepada Jibril as. pada Malam Qodar secara sekaligus, lalu diletakkan di Baitul Izzah, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur”. Ibnu Mardawaih dan Al-Baihaqi –dalam Al Asma wash Shifaat- telah mengeluarkan riwayat dari jalan As Sudi, dari Muhammad, dari Abul Mujalid dari Muqsim dari Ibnu Abbas bahwa Athiyah bertanya kepada beliau dan berkata, “terdapat keraguan di dalam hatiku mengenai firman Allah, -artinya- “bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran”, dan juga firmannya –yang artinya- “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan”, padahal dia turun di bulan Syawal, Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharrom, Shofar dan bulan Robi’”, maka Ibnu Abbas menjawab, “sesungguhnya ia turun secara keseluruhan kemudian diturunkan ke tempat singgahnya bintang-bintang secara berangsur-angsur sepanjang bulan dan hari-hari tersebut”.
Diskusi
Itulah dalil yang digunakan oleh jumhur ulamaa’ untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an turun secara keseluruhan pada Lailatul Qodr ke langit dunia, kemudian diturunkan dari sana oleh Jibril selama masa kenabian. Menanggapi dalil yang diajukkan oleh Jumhur ini, Dr. Muhammad Ali Hasan berkata, “sesungguhnya, perkara turunnya Al-Qur’an dari Baitul Izzah tergolong perkara ghoib yang di dalamnya tidak dibenarkan ada pembahasan yang semata-mata didasarkan pada akal-pikiran, namun harus terdapat dalil syara’ yang menyatakannya, dan itu tidak ada. Adapun mengenai perkataan Ibnu Abbas, maka sesungguhnya beliau tidak menyandarkan perkataan itu kepada Rasulullah saw., sehingga tidak layak untuk dianggap sebagai hadits”.
Namun, Az Zarqoni dalam Manahilul ‘Irfan mengatakan, “memang benar bahwa hadits itu terhenti pada Ibnu ‘Abbas, tapi dia dihukumi marfu’, sampai kepada NAbi saw. berdasarkan ketentuan yang disepakati bahwa perkataan shohabat dalam perkara-perkara yang tidak mungkin ditetapkan dengan akal – sementara shohabat itu tidak terkenal suka meriwayatkan israiliyat – maka riwayatnya dihukumi marfu. Sementara itu, tidak ada keraguan bahwa turunnya Al-Qur’an ke Baitul ‘Izzah merupakan berita ghaib yang tidak mungkin diketahui kecuali dari orang yang ma’shum, sedangkan Ibnu Abbas tidak terkenal suka mengambil pendapat dari israiliyat, maka teguhlah riwayat ini untuk dijadikan hujjah”.
Artinya, menurut Az Zarqoni –dan jumhur- Ibnu Abbas tidak mungkin menyatakan hal yang ghoib -seperti masalah turunnya Al-Qur’an ini- kecuali jika beliau memang mendengar keterangan mengenai hal itu dari Nabi saw., sebab tidak mungkin beliau mengarang cerita tentang hal ghaib.
Pendapat Az Zarqoni didukung oleh teori yang diadopsi oleh sebagian besar ulama hadits, bahwa dalam perkara-perkara yang “tidak terfikirkan” dan tidak mungkin ada ijtihad di dalamnya, maka perkataan shohabat bisa dihukumi sebagai hadits marfu’. As Suyuthi berkata dalam Tadriibur Rawi, “Syaikhul Islam membagi hadits marfu’ menjadi marfu’ secara jelas dan marfu’ secara hukum. Contoh hadtis marfu’ berupa perkataan yang jelas adalah perkataan seorang shohabat, “rosulullah telah bersabda”; (rasul) menceritakan kepada kami”, atau “aku mendengar Rasul berkata..”; Sedangkan contoh marfu’ secara hukum adalah : perkataan shohabat dalam masalah yang tidak diperkenankan masuknya akal-piukiran di dalamnya..”. Al Qosimi dan Qowaaidut Tahdits mengutip perkataan Az Zarkasyi, “benar, mengenai hadits-hadits mauquf bahwa apabila menyangkut masalah yang di dalamnya tidak ada tempat untuk ijtihad, maka hukumnya menjadi marfu”. Dr. Ajaj Khothib dalam Ushulul Hadits menyatakan, “untuk perkataan shohabat yang menyaksikan turunnya wahyu, maka tafsir mereka yang berkaitan dengan sebab-sebab turunnya ayat dihukumi marfu’, sebab tidak mungkin dia mengambil itu kecuali dari rasul, dan karena tidak ada pintu bagi akal-pikiran untuk memasukkinya. Adapun jika di dalamnya ruang bagi akal-pikiran untuk membahasnya, dan riwayatnya kosong dari indikasi-indikasi yang menunjukkan kemarfu’annya, maka ia dianggap mauquf”.
Namun, An Nabhaaniy menolak teori itu secara selektif. Beliau berkata dalam Asy Syakhshiyyah, “termasuk hadits marfu’ adalah tafsir shohabat yang berupa penjelasan mengenai sebab turunya ayat. Adapun tafsir shohabat yang selain itu (selain sababun nuzul) maka tidak dianggap sebagai hadits. Itu karena para shohabat telah banyak berijtihad dalam tafsir Al-Qur’an, dan mereka (kadang) mengalami perbedaan pendapat. Kita juga menemui banyak di antara mereka yang meriwayatkan israiliyat dari ahli kitab. Maka dari itu, tafsir mereka tidak dianggap sebagai hadits, apalagi hadits marfu’.
Dari kutipan di atas bisa kita ketahui bahwa An Nabhani tidak menerima teori yang menyatakan bahwa perkataan shohabat yang terkait dengan hal-hal ghoib otomatis dianggap sebagai hadits. Beliau menyatakan bahwa anggapan itu hanyalah ihtimal (dugaan lemah). Sementara, ihtimal merupakan sesuatu yang tidak layak untuk digunakan sebagai dalil (Lihat Asy Syakhshiyyah juz 1). Adapun mengenai sebab turunnya ayat, maka perkataan shohabat diterima. Tapi, itu bukan karena anggapan bahwa masalah sababun nuzul merupakan masalah yang tidak terjangkau oleh akal sehingga diasumsikan pasti berasal dari Nabi saw. Tidak demikian. Riwayat dari shohabat tentang sebab turunnya ayat bisa diterima karena sebagian besar sebab itu bisa disaksikan oleh para shohabat dengan mata-kepala mereka, sehingga itu merupakan fakta yang terindera, bukan hal yang ghoib. Atas dasar itu, riwayat dari Ibnu Abbas ra. tentang turunnya Al-Qur’an secara sekaligus di langit dunia merupakan atsar mauquf yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, sebab itu merupakan masalah ghoib yang tidak bisa diterima kecuali jika ada penjelasan yang berasal dari Rasulullah saw. Wallahu a’lam
Kesimpulan
Sepanjang pendapat tentang turunnya Al-Qur’an secara sekaligus ke langit dunia tidak didasarkan pada bukti yang layak, maka masalah penurunan Al-Qur’an ini kita kembalikan kepada fakta, bahwa  Rasulullah saw. menerima Al-Qur’an secara bertahap sepanjang tugas kenabiannya yang kurang lebih 23 tahun. Allah menyebutkan hikmah dari proses penurunan itu dalam surat Al Israa’ ayat 106 dan surat Al Furqon ayat 32 dan 33. Wallahu a’lam

0 komentar:

Posting Komentar

 

dita blogs Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review