Jumhur ulama berpendapat –sebagaimana diutarakan oleh As Suyuthi dalam Al Itqon-
bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam dua tahap. Pertama, diturunkan oleh
Allah secara sekaligus pada Lailatul Qodar ke langit dunia. Kemudian,
dari langit dunia dibawa oleh Jibril as. kepada Rasulullah saw. secara
bertahap selama 23 tahun. Sementara itu, sebagian ulama -antara lain
adalah Asy Sya’bi- berpendapat bahwa Al-Qur’an hanya diturunkan dengan
satu cara, yakni secara bertahap sepanjang masa kenabian.
Jumhur ulama mendasarkan pendapatnya antara lain pada beberapa dalil berikut:
Al Qur’an Surat Al-Baqoroh ayat 185
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda
Al Qur’an Surat Ad Dukhon ayat 3
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ
sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.
Al Qur’an Surat Al Qodr ayat 1
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan.
Sisi
pendalilannya adalah, bahwa dalam Al-Baqoroh 185 dikatakan bahwa
Al-Qur’an itu turun pada Bulan Ramadhan, bukan pada bulan-bulan lain.
Sedangkan dalam Ad Dukhon ayat 3 dan Al Qodr ayat 1 dikatakan bahwa
Al-Qur’an itu turun hanya dalam satu malam, yaitu yang disebut lailatun mubaarokatun (malam yang diberkahi) atau Lailatul Qodr. Kedua lafadz itu berbentuk mufrad
(tunggal), yang berarti satu malam, bukan dua malam atau beberapa
malam. Jadi, Al-Qur’an itu turun sekaligus dalam satu malam. Itulah
dalil mereka. Namun, mereka juga paham, bahwa Al-Qur’an diterima oleh
Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam secara bertahab, selama sekitar 23
tahun. Maka, mereka menyatakan bahwa Al Qur’an turun sekaligus dari
Lauhul Mahfudz ke langit dunia, kemudian turun secara bertahab dari
langit dunia kepada Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam.
Selain
itu, para ulama tersebut juga berdalil dengan beberapa riwayat yang
disandarkan kepada Ibnu Abbas ra. Imam As Suyuthi dalam Itqon-nya telah
mengetengahkan riwayat-riwayat tersebut, beliau berkata:
Al Hakim, Al Baihaqi dan yang lainnya telah mengeluarkan riwayat dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas ra. Yang berkata, “Al-Qur’an
diturunkan ke langit dunia secara sekaligus pada Malam Qodar, di tempat
singgahnya bintang-bintang (mawaqi’ an nujum), lalu Allah menurunkannya
kepada Rasulullah saw. bagian demi bagian.”
Al-Hakim,
Al-Baihaqi dan An Nasai telah mengeluarkan hadits dari jalan Dawud
binAli Al Hindi dari Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, “Al-Qur’an
diturunkan secara sekaligus ke langit dunia pada malam Qodar, kemudian
setelah itu diturunkan dalam 23 tahun. Lalu beliau membaca وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيراً (QS Al Furqoon ayat 33) dan kemudian membaca وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلاً (QS Al Isroo’ ayat 106). Ibnu Abi Hatim juga mengeluarkan riwayat dengan bentuk yang sama dengan tambahan di akhirnya, “dengan demikian apabila orang-orang musyrik membicarakan sesuatu, maka Allah langsung membuat jawaban untuk mereka”.
Al-Hakim
dan Ibnu Abi Syaibah telah mengeluarkan sebuah riwayat dari jalan Hisan
bin Harits dan Said bin Jubair dari Ibnu Abbas dia berkata, “Al-Qur’an
dipisahkan dari Adz Dzikr kemudian diletakkan di Baitul Izzah di langit
dunia, maka kemudian Jibril as. membawanya turun kepada Nabi saw”. Semua sanadnya shohih.
Ath Thobroni meriwayatkan atsar dengan bentuk lain dari Ibnu Abbas dia berkata, “Al-Qur’an diturunkan pada Malam Qodar pada Bulan Ramadhan secara sekaligus kemudian diturunkan secara bertahap”. Status sanadnya “laa ba’sa bihi”.
Ath Thobroni dan Al Bazzar juga mengeluarkan dengan bentuk lain dari beliau (Ibnu Abbas) berkata, “Al-Qur’an
diturunkan secara sekaligus hingga diletakkan di Baitul Izzah di langit
dunia, kemduian Jibril as. menurunkannya kepada Muhammad saw. untuk
menjawab perkataan manusia dan perbuatan-perbuatan mereka”.
Ibnu Abi Syaibah dalam Fadhoilul Qur’an mengeluarkan, “Al-Qur’an
diserahkan kepada Jibril as. pada Malam Qodar secara sekaligus, lalu
diletakkan di Baitul Izzah, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur”. Ibnu Mardawaih dan Al-Baihaqi –dalam Al Asma wash Shifaat- telah
mengeluarkan riwayat dari jalan As Sudi, dari Muhammad, dari Abul
Mujalid dari Muqsim dari Ibnu Abbas bahwa Athiyah bertanya kepada beliau
dan berkata, “terdapat keraguan di dalam hatiku mengenai firman
Allah, -artinya- “bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al-Quran”, dan juga firmannya –yang artinya- “Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan”, padahal dia
turun di bulan Syawal, Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharrom, Shofar dan
bulan Robi’”, maka Ibnu Abbas menjawab, “sesungguhnya ia turun secara
keseluruhan kemudian diturunkan ke tempat singgahnya bintang-bintang
secara berangsur-angsur sepanjang bulan dan hari-hari tersebut”.
Diskusi
Itulah
dalil yang digunakan oleh jumhur ulamaa’ untuk menyatakan bahwa
Al-Qur’an turun secara keseluruhan pada Lailatul Qodr ke langit dunia,
kemudian diturunkan dari sana oleh Jibril selama masa kenabian.
Menanggapi dalil yang diajukkan oleh Jumhur ini, Dr. Muhammad Ali Hasan
berkata, “sesungguhnya, perkara turunnya Al-Qur’an dari Baitul Izzah
tergolong perkara ghoib yang di dalamnya tidak dibenarkan ada
pembahasan yang semata-mata didasarkan pada akal-pikiran, namun harus
terdapat dalil syara’ yang menyatakannya, dan itu tidak ada. Adapun
mengenai perkataan Ibnu Abbas, maka sesungguhnya beliau tidak
menyandarkan perkataan itu kepada Rasulullah saw., sehingga tidak layak
untuk dianggap sebagai hadits”.
Namun, Az Zarqoni dalam Manahilul ‘Irfan mengatakan, “memang
benar bahwa hadits itu terhenti pada Ibnu ‘Abbas, tapi dia dihukumi
marfu’, sampai kepada NAbi saw. berdasarkan ketentuan yang disepakati
bahwa perkataan shohabat dalam perkara-perkara yang tidak mungkin
ditetapkan dengan akal – sementara shohabat itu tidak terkenal suka
meriwayatkan israiliyat – maka riwayatnya dihukumi marfu. Sementara itu,
tidak ada keraguan bahwa turunnya Al-Qur’an ke Baitul ‘Izzah merupakan
berita ghaib yang tidak mungkin diketahui kecuali dari orang yang
ma’shum, sedangkan Ibnu Abbas tidak terkenal suka mengambil pendapat
dari israiliyat, maka teguhlah riwayat ini untuk dijadikan hujjah”.
Artinya,
menurut Az Zarqoni –dan jumhur- Ibnu Abbas tidak mungkin menyatakan hal
yang ghoib -seperti masalah turunnya Al-Qur’an ini- kecuali jika beliau
memang mendengar keterangan mengenai hal itu dari Nabi saw., sebab
tidak mungkin beliau mengarang cerita tentang hal ghaib.
Pendapat
Az Zarqoni didukung oleh teori yang diadopsi oleh sebagian besar ulama
hadits, bahwa dalam perkara-perkara yang “tidak terfikirkan” dan tidak
mungkin ada ijtihad di dalamnya, maka perkataan shohabat bisa dihukumi
sebagai hadits marfu’. As Suyuthi berkata dalam Tadriibur Rawi, “Syaikhul
Islam membagi hadits marfu’ menjadi marfu’ secara jelas dan marfu’
secara hukum. Contoh hadtis marfu’ berupa perkataan yang jelas adalah
perkataan seorang shohabat, “rosulullah telah bersabda”; (rasul)
menceritakan kepada kami”, atau “aku mendengar Rasul berkata..”;
Sedangkan contoh marfu’ secara hukum adalah : perkataan shohabat dalam
masalah yang tidak diperkenankan masuknya akal-piukiran di dalamnya..”. Al Qosimi dan Qowaaidut Tahdits mengutip perkataan Az Zarkasyi, “benar,
mengenai hadits-hadits mauquf bahwa apabila menyangkut masalah yang di
dalamnya tidak ada tempat untuk ijtihad, maka hukumnya menjadi marfu”. Dr. Ajaj Khothib dalam Ushulul Hadits menyatakan, “untuk
perkataan shohabat yang menyaksikan turunnya wahyu, maka tafsir mereka
yang berkaitan dengan sebab-sebab turunnya ayat dihukumi marfu’, sebab
tidak mungkin dia mengambil itu kecuali dari rasul, dan karena tidak ada
pintu bagi akal-pikiran untuk memasukkinya. Adapun jika di dalamnya
ruang bagi akal-pikiran untuk membahasnya, dan riwayatnya kosong dari
indikasi-indikasi yang menunjukkan kemarfu’annya, maka ia dianggap
mauquf”.
Namun, An Nabhaaniy menolak teori itu secara selektif. Beliau berkata dalam
Asy Syakhshiyyah, “termasuk hadits marfu’ adalah tafsir shohabat yang
berupa penjelasan mengenai sebab turunya ayat. Adapun tafsir shohabat
yang selain itu (selain sababun nuzul) maka tidak dianggap sebagai
hadits. Itu karena para shohabat telah banyak berijtihad dalam tafsir
Al-Qur’an, dan mereka (kadang) mengalami perbedaan pendapat. Kita juga
menemui banyak di antara mereka yang meriwayatkan israiliyat dari ahli
kitab. Maka dari itu, tafsir mereka tidak dianggap sebagai hadits,
apalagi hadits marfu’.
Dari
kutipan di atas bisa kita ketahui bahwa An Nabhani tidak menerima teori
yang menyatakan bahwa perkataan shohabat yang terkait dengan hal-hal
ghoib otomatis dianggap sebagai hadits. Beliau menyatakan bahwa anggapan
itu hanyalah ihtimal (dugaan lemah). Sementara, ihtimal
merupakan sesuatu yang tidak layak untuk digunakan sebagai dalil (Lihat
Asy Syakhshiyyah juz 1). Adapun mengenai sebab turunnya ayat, maka
perkataan shohabat diterima. Tapi, itu bukan karena anggapan bahwa
masalah sababun nuzul merupakan masalah yang tidak terjangkau
oleh akal sehingga diasumsikan pasti berasal dari Nabi saw. Tidak
demikian. Riwayat dari shohabat tentang sebab turunnya ayat bisa
diterima karena sebagian besar sebab itu bisa disaksikan oleh para
shohabat dengan mata-kepala mereka, sehingga itu merupakan fakta yang
terindera, bukan hal yang ghoib. Atas dasar itu, riwayat dari Ibnu Abbas
ra. tentang turunnya Al-Qur’an secara sekaligus di langit dunia
merupakan atsar mauquf yang tidak bisa dijadikan sebagai
hujjah, sebab itu merupakan masalah ghoib yang tidak bisa diterima
kecuali jika ada penjelasan yang berasal dari Rasulullah saw. Wallahu
a’lam
Kesimpulan
Sepanjang
pendapat tentang turunnya Al-Qur’an secara sekaligus ke langit dunia
tidak didasarkan pada bukti yang layak, maka masalah penurunan Al-Qur’an
ini kita kembalikan kepada fakta, bahwa Rasulullah saw. menerima
Al-Qur’an secara bertahap sepanjang tugas kenabiannya yang kurang lebih
23 tahun. Allah menyebutkan hikmah dari proses penurunan itu dalam surat
Al Israa’ ayat 106 dan surat Al Furqon ayat 32 dan 33. Wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar